Hikmah Bekas Merah di Pipi
Karya : Erintia Putri
Arkhan, seorang remaja
yang tidak suka dengan aturan keras yang dapat menghalangi kebahagiaannya. ia
adalah salah seorang dari anggota geng yang terdapat di madrasahnya. Dikenal
sebaga siswa yang nakal telah ia anggap sebagai pujian. Begitu banyak peraturan
di sekolah yang membuatnya terasa dikekang, hingga ia langgar dan abaikan.
Ruang BK sudah ia anggap sebagai tempat yang wajib ia kunjungi, paling tidak
dua kali dalam sepekan. Ia memiliki saudara bernama Hafaza, lahir setahun setelah
ia dilahirkan. Mereka bersaudara layaknya saudara yang tak menutup kemungkinan
sering terjadi pertengkaran diantara mereka, baik di rumah maupun di madrasah
tempat mereka sekolah.
Arkhan memiliki kakak bernama
Nadira yang sifatnya sangat berbeda dengan saudara yang lain. Nadira merupakan
anak yang rajin, sholehah, pandai, hormat kepada yang lebih tua, dan sayang kepada
adik adiknya. Tak heran jika orang tua mereka kagum, dan sering memberikannya
pujian. Arkhan dan Hafaza tak pernah keberatan dengan itu, karena mereka sadar
bahwa itu memang benar. Arkhan bersama perkumpulannya tak bisa lepas dari teman
yang mereka anggap sebagai penenang ketika ada problema yang mereka hadapi
yaitu sesuatu yang digunakan dengan menghirup dan menghembuskan. Seringkali Arkhan
diberikan arahan supaya dapat meninggalkan kebiasaan buruknya tersebut. Namun,
baginya aturan bukanlah hal baik baginya.
Berbagai hukuman telah
Arkhan rasakan, hingga akhirnya ia jenuh dengan semua itu. Satu hal yang paling
tidak ia terima adalah ketika tangan lembut seorang guru mendarat dengan keras
di pipinya. Hal inilah yang membuatnya berfikir untuk pindah sekolah. Keputusan
untuk pindah sekolah disetujui oleh ayahnya.
Karena ayahnya pun tak terima ketika melihat ada bekas merah di pipi
sang anak.
Ayah Arkhan langsung
mengurus surat pindah sekolah. Ia daftarkan Arkhan untuk sekolah di pesantren.
Saudara Arkhan, Hafaza berhenti dari sekolah demi lanjutnya pendidikan sang
kaka. Seperti biasa di desa, anak yang cuckup umur untuk bekerja namun tak
memiliki pekerjaan pergi merantau untuk memenuhi kehidupan mereka. Rasa kecewa
sempat timbul dalam diri Hafaza sebab harus keluar dari dunia pendidikan, namun
ia yakin ada hal yang akan datang lebih baik dari sebelumnya. Ia selalu
berusaha tuk mengikhlaskan.
Arkhan mulai masuk
sekolah di pesantren. Arkhan butuh waktu untuk dapat beradaptasi dengan
lingkungan pesantren yang penuh dengan aturan. Namun seiring berjalannya waktu
Arkhan mulai beradaptasi. Arkhan memulai hidup yang baru. Kesadaran tentang
pentingnya ilmu ia pahami pesantren. Di sini ia mulai mengenal bahwa menaati
aturan adalah hal yang indah. Kebiasaan buruk sedikit demi sedikit mulai ia
kurangi. Kegiatan pesantren dari pagi sampai selesai ia ikuti. Seperti
pesantren pada umunya, di pesantren Nurul Huda juga memiliki aturan tersendiri
dalam mendidik santri santriwatinya. Mulai dari bagun tidur, bersih-bersih,
mandi, belajar, tahfidz, dan hal hal lain.
Di pesantren Nurul Huda
pukul 03.00 pagi harus sudah berada di mushala untuk melakukan shalat tahajud
yang dilanjutkan dengan tahfidz sambil menunggu waktu subuh. Shalat berjamaan
dan setelah itu ada ta’lim muta’lim dari ustadz. Di sini Arkhan menemukan teman
yang baru yang sekiranya dapat membantu Arkhan untuk dapat menyesuaikan diri
dengan tempatnya yang sekarang ini. Tak membutuhkan waktu yang lama bagi Arkhan
untuk beradaptasi dengan lingkungan. Dalam beberapa minggu ia sudah mulai untuk menaati aturan dan takut
tuk melanggarnya. Beberapa bulan kemudian ia sudah terbiasa untuk bangun pagi
yang dilanjutkan dengan tahajud dan tahfidz.
Kehidupan di pesantren
bisa menghilangkan kebiasaan buruk Arkhan yang pasti ia lakukan yaitu merokok.
Awalnya Arkhan berhenti merokok hanya karena tak ada yang menjual rokok
disekitar pesantren. Akan tetapi tak lama kemudian ia pun terbiasa untuk tidak
merokok.
“ sebaik-baik manusia
adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”, kalimat singkat inilah yang dapat
memberhentikan Arkhan dari kebiasaan merokok. Satu kalimat yang diperjelas oleh
Ustadz dengan berbagai kiasan. Arkhan menyadari bahwa rokok tak hanya berdampak
negatif bagi dirinya namun berdampak negatif bagi orang yang disekitarnya,
bahkan lebih bahaya dari pada ia yang merokok.
Di pesantren Arkhan
bertemu dengan seseorang yang sebaya dengah dirinya. Santri itu bernama Rio, ia
memiliki kekurangan dalam fisiknya. Sebagai bahan pembulian bagi teman-teman
sebayanya, marah? Itu sudah pasti, namun ia tetap menyimpan amarah dalam hati.
Percaya akan ada hal baik yang menanti.
Suatu hari ketika
diselenggarakannya acara rutin di asrama yaitu tablihg di setiap hari jumat,
Arkhan melihat Rio duduk sambil bergumam seperti membicarakan sesuatu, namun saat
itu ia sedang sendiri. Arkhan mendekatinya, lalu bertanya kepada Rio apa yang
sebenarnya sedang ia lakukan.
“Assalamualaikum”, Arkhan
mengawali pertemuannya dengan salam, ini adalah perama kali bagi Arkhan.
“waalikumussalam”, sambut
Rio.
“Ana Arkhan, Antum?”,
Arkhan memulai membuka percakapan, Sambil mengulurkan tangannya.
“Ana Rio”, jawab Rio,
sambil mengulurkan tangannya tapi tak menyambut tangan Arkhan.
Arkhan terkejut. Ada apa?
Kenapa? Mengapa tangan yang ia julurkan tak mengarah ke tangan ku? Arkhan
bergumam dalam hati. Lalu ia sambut tangan Rio yang tak mengarah ke dia. Arkhan
duduk disamping Rio lalu bercakap-cakap sambil menunggu dimulainya acara
tablhig rutin.
“Apa yang sedang antum
lakukan sendiri?” Tanya Arkhan.
“menunggu tabligh
dimulai” jawab Rio.
“Lalu kenapa kau bergumam
sendiri, apa kau baik-baik saja?” Lanjut Rio
“Tentu, aku sedang
muraja’ah, itu bisa buat ku tenang dan main dekat dengan Sang Maha Kuasa” jawab
Rio yang mengetuk hati Arkhan untuk lebih mengetahui tentang dirinya.
Muraja’ah? Sahut Arkhan
bingung karena baru pertama ia mendengar kata itu. Rio menjelaskan apa arti muraja’ah.
Lalu terdengar suara pengumuman tentang segera dimulainya tabligh rutin. Arkhan
berdiri dan berjalan berdampingan denga Rio, karena Arkhan tau bahwa Rio adalah
seorang tunanetra yang sangat beruntung bisa menjadi santri di pesantren Nurul
Huda ini.
Setelah beberapa minggu
Arkhan dan Rio sudah menjadi teman dekat. Teman yang saling menginspirasi satu
sama lain. Mengetahui kisah Rio yang merupakan seorang tunanetra yang hafal
kitab mulia (alqur’an) mulai membuka hati Arkhan untuk melakukan hal-hal baik
dalam hidupnya. Ia memulai dari hal kecil dalam dirinya seperti mematuhi aturan
yang biasa ia langgar. Ia mulai mengahafal Al-Quran sesuai aturan di pesantren.
Bangun jam tiga lalu tahfidz dan muraja’ah tak ia anggap berat lagi. Ia banyak
belajar dari sahabatnya Rio. Perubahan Arkhan ini membuat para ustadz kagum
dengannya, khususnya salah seorang ustadz yang selalu membimbing Arkhan dalam
menjalani perubahan. Ustadz Ridwan selalu menegrti dengan keadaan Arkhan, ia
membantu Arkhan menjalani hidup yang ia hadapi selama beradaptasi.
Kegiatan pesantren tak
pernah Arkhan tinggalkan seperti, shalat berjamaah, shalat tahajud, mura’jaah,
tahfidz, baitul masail, dan kegiatan pelatihan untuk berceramah yang disebut
dengan khitobah dalam pesantren. Dalam baitul masail atau kegiatan berdiskusi
tentang persoalan-persoalan sosial dari sudut pandang agama dengan landasan
Al-Quran, hadits, dan kitab-kitab terdahulu. Timbul bakat dalam diri seorang
Arkhan setelah berbulan bulan belajar di pesantren, yaitu dalam bidang
khitobah. Ia mulai memperdalam khitobah dengan bimbingan sang ustadz tercinta
yaitu ustadz Ridwan. Dengan berlatih keras Arkhan mengikuti lomba khitobah
tingkat MA/Sederajat. Ia gagal, rasa kecewa timbul dalam diri, sampai ia ingin
berhenti dari kegiatan positifnya. Namun, Ustadz Ridwan tanpa henti memberi
nasihat dan masukan agar Arkhan tetap istiqomah dalam kegiatan yang positif.
Arkhan terlihat merenung
di depan asrama dengan menundukkan kepala, layaknya orang yang terpuruk dalam
kesedihan. Ustadz Ridwan yang pada saat itu sedang mengecek keadaaan asrama
menghampirinya.
“Arkhan”. Panggil Ustadz
dengan memegang pundak Arkhan. Arkhan mendongak.
“janganlah terlalu
berlarut-larut dalam kesedihan, bangkitlah, Allah tau mana yang terbaik untuk
hambanya. Jadi belajarlah lebih giat lagi, akan ada hal yang lebih menunggu di
depan” lanjut ustadz menenagkan Arkhan. Arkhan hanya terdiam menghadap bawah.
Ustadz Ridwan pergi melanjutkan tugasnya untuk memeriksa asrama lainnya. Arkhan
kembali merenung, namun kali ini ia tak merenungkan kekalahannya, ia merenugkan
kalimat yang ustadz Ridwan berikan kepadanya.
Beberapa hari kemudian ia
mulai bangkit, kalimat ustadz saat itu menjadi rujukan dalam dirinya. “Aku
harus bangkit” ujar Arkhan dalam hati untuk menyemangatkan diri. “Ustad ridwan
memang benar, jika aku berlarut dalam kesedihan, hal lain tak akan berjalan
dengan baik” lanjutnya bergumam. Setelah itu ia memulai kembali rutinitas baik
yang ia lakukan di pesantren. Ia rajin berlatih berkhitobah di depan Rio,
dengan alasan selain sahabat Rio juga lebih berpengalaman dari Arkhan. Sehingga
Arkhan bisa lebih banyak belajar dengan teman sebayanya itu.
Dengan kerja keras Arkhan
tak lama kemudian ia dapat memenangkan lomba khitobah tingkat nasional.
Berlatih keras yang selam ini ia lakukan tak sia-sia. Naskah khitobah ini
dibuat oleh temannya, Rio. Ia sangat
bersyukur memiliki teman sebaik Rio. Ketika menang kalimat pertama yang ia
ucapkan adalah “alhamdulillah”, puji syukur kepada Tuhan yang Menguasai Alam.
Ini adalah kali pertama Arkhan memenangkan sesuatu yang positif dan membanggakan
orang tua, para ustadz, dan orang-orang terdekat lainnya. Sejak itu Arkhan
sering mengikuti lomba-lomba dakwah yang tak lepas dari bantuan ustadz Ridwan
dan sahabat terbaiknya di pesantren yaitu Rio.
Telah setahun lamanya
Arkhan menuntut ilmu di pesantren Nuruh Huda tak terasa ia akan berpisah dengan
pesantrennya. Ia mengajukan untuk bisa melanjutkan pendidikannya di Makkah, seperti
biasa ia selalu berjalan dengan arahan sang ustadz. Belajar keras untuk bisa
melanjutkan pendidikan tanpa biaya dari orang tua. Beberapa bulan kemudian
pengumuman keluar, dan nama Arkhan tertera dengan nilai sepuluh terbaik, dan
mendapat beasiswa untuk kuliah.
Beberapa minggu dirumah
setelah kelulusan, ia berangkat menuju ke Makkah. Tiga tahun kemudian ia dapat
memberangkatkan haji kedua orang tuanya. Rasa bangga dalam diri sebagai orang
tua tak dapat di ungkapkan dengan kata-kata. Ini adalah hikmah dari merahnya
pipi Arkhan saat itu. Percayalah tak ada hal yang Allah ciptakan menjadi
sia-sia. Apabila kita selalu bersyukur dan qonaah dalam hal kebaikan, dan
selalu yakin dengan kuasa Allah kebahagiaan akan menghampiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar