Senin, 05 November 2018

cerpen santri



Hikmah Bekas Merah di Pipi
Karya : Erintia Putri
Arkhan, seorang remaja yang tidak suka dengan aturan keras yang dapat menghalangi kebahagiaannya. ia adalah salah seorang dari anggota geng yang terdapat di madrasahnya. Dikenal sebaga siswa yang nakal telah ia anggap sebagai pujian. Begitu banyak peraturan di sekolah yang membuatnya terasa dikekang, hingga ia langgar dan abaikan. Ruang BK sudah ia anggap sebagai tempat yang wajib ia kunjungi, paling tidak dua kali dalam sepekan. Ia memiliki saudara bernama Hafaza, lahir setahun setelah ia dilahirkan. Mereka bersaudara layaknya saudara yang tak menutup kemungkinan sering terjadi pertengkaran diantara mereka, baik di rumah maupun di madrasah tempat mereka sekolah.
Arkhan memiliki kakak bernama Nadira yang sifatnya sangat berbeda dengan saudara yang lain. Nadira merupakan anak yang rajin, sholehah, pandai, hormat kepada yang lebih tua, dan sayang kepada adik adiknya. Tak heran jika orang tua mereka kagum, dan sering memberikannya pujian. Arkhan dan Hafaza tak pernah keberatan dengan itu, karena mereka sadar bahwa itu memang benar. Arkhan bersama perkumpulannya tak bisa lepas dari teman yang mereka anggap sebagai penenang ketika ada problema yang mereka hadapi yaitu sesuatu yang digunakan dengan menghirup dan menghembuskan. Seringkali Arkhan diberikan arahan supaya dapat meninggalkan kebiasaan buruknya tersebut. Namun, baginya aturan bukanlah hal baik baginya.
Berbagai hukuman telah Arkhan rasakan, hingga akhirnya ia jenuh dengan semua itu. Satu hal yang paling tidak ia terima adalah ketika tangan lembut seorang guru mendarat dengan keras di pipinya. Hal inilah yang membuatnya berfikir untuk pindah sekolah. Keputusan untuk pindah sekolah disetujui oleh ayahnya.  Karena ayahnya pun tak terima ketika melihat ada bekas merah di pipi sang anak.
Ayah Arkhan langsung mengurus surat pindah sekolah. Ia daftarkan Arkhan untuk sekolah di pesantren. Saudara Arkhan, Hafaza berhenti dari sekolah demi lanjutnya pendidikan sang kaka. Seperti biasa di desa, anak yang cuckup umur untuk bekerja namun tak memiliki pekerjaan pergi merantau untuk memenuhi kehidupan mereka. Rasa kecewa sempat timbul dalam diri Hafaza sebab harus keluar dari dunia pendidikan, namun ia yakin ada hal yang akan datang lebih baik dari sebelumnya. Ia selalu berusaha tuk mengikhlaskan.
Arkhan mulai masuk sekolah di pesantren. Arkhan butuh waktu untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan pesantren yang penuh dengan aturan. Namun seiring berjalannya waktu Arkhan mulai beradaptasi. Arkhan memulai hidup yang baru. Kesadaran tentang pentingnya ilmu ia pahami pesantren. Di sini ia mulai mengenal bahwa menaati aturan adalah hal yang indah. Kebiasaan buruk sedikit demi sedikit mulai ia kurangi. Kegiatan pesantren dari pagi sampai selesai ia ikuti. Seperti pesantren pada umunya, di pesantren Nurul Huda juga memiliki aturan tersendiri dalam mendidik santri santriwatinya. Mulai dari bagun tidur, bersih-bersih, mandi, belajar, tahfidz, dan hal hal lain.
Di pesantren Nurul Huda pukul 03.00 pagi harus sudah berada di mushala untuk melakukan shalat tahajud yang dilanjutkan dengan tahfidz sambil menunggu waktu subuh. Shalat berjamaan dan setelah itu ada ta’lim muta’lim dari ustadz. Di sini Arkhan menemukan teman yang baru yang sekiranya dapat membantu Arkhan untuk dapat menyesuaikan diri dengan tempatnya yang sekarang ini. Tak membutuhkan waktu yang lama bagi Arkhan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Dalam beberapa minggu  ia sudah mulai untuk menaati aturan dan takut tuk melanggarnya. Beberapa bulan kemudian ia sudah terbiasa untuk bangun pagi yang dilanjutkan dengan tahajud dan tahfidz.
Kehidupan di pesantren bisa menghilangkan kebiasaan buruk Arkhan yang pasti ia lakukan yaitu merokok. Awalnya Arkhan berhenti merokok hanya karena tak ada yang menjual rokok disekitar pesantren. Akan tetapi tak lama kemudian ia pun terbiasa untuk tidak merokok.
“ sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”, kalimat singkat inilah yang dapat memberhentikan Arkhan dari kebiasaan merokok. Satu kalimat yang diperjelas oleh Ustadz dengan berbagai kiasan. Arkhan menyadari bahwa rokok tak hanya berdampak negatif bagi dirinya namun berdampak negatif bagi orang yang disekitarnya, bahkan lebih bahaya dari pada ia yang merokok.
Di pesantren Arkhan bertemu dengan seseorang yang sebaya dengah dirinya. Santri itu bernama Rio, ia memiliki kekurangan dalam fisiknya. Sebagai bahan pembulian bagi teman-teman sebayanya, marah? Itu sudah pasti, namun ia tetap menyimpan amarah dalam hati. Percaya akan ada hal baik yang menanti.
Suatu hari ketika diselenggarakannya acara rutin di asrama yaitu tablihg di setiap hari jumat, Arkhan melihat Rio duduk sambil bergumam seperti membicarakan sesuatu, namun saat itu ia sedang sendiri. Arkhan mendekatinya, lalu bertanya kepada Rio apa yang sebenarnya sedang ia lakukan.
“Assalamualaikum”, Arkhan mengawali pertemuannya dengan salam, ini adalah perama kali bagi Arkhan.
“waalikumussalam”, sambut Rio.
“Ana Arkhan, Antum?”, Arkhan memulai membuka percakapan, Sambil mengulurkan tangannya.
“Ana Rio”, jawab Rio, sambil mengulurkan tangannya tapi tak menyambut tangan Arkhan.
Arkhan terkejut. Ada apa? Kenapa? Mengapa tangan yang ia julurkan tak mengarah ke tangan ku? Arkhan bergumam dalam hati. Lalu ia sambut tangan Rio yang tak mengarah ke dia. Arkhan duduk disamping Rio lalu bercakap-cakap sambil menunggu dimulainya acara tablhig rutin.
“Apa yang sedang antum lakukan sendiri?” Tanya Arkhan.
“menunggu tabligh dimulai” jawab Rio.
“Lalu kenapa kau bergumam sendiri, apa kau baik-baik saja?” Lanjut Rio
“Tentu, aku sedang muraja’ah, itu bisa buat ku tenang dan main dekat dengan Sang Maha Kuasa” jawab Rio yang mengetuk hati Arkhan untuk lebih mengetahui tentang dirinya.
Muraja’ah? Sahut Arkhan bingung karena baru pertama ia mendengar kata itu. Rio menjelaskan apa arti muraja’ah. Lalu terdengar suara pengumuman tentang segera dimulainya tabligh rutin. Arkhan berdiri dan berjalan berdampingan denga Rio, karena Arkhan tau bahwa Rio adalah seorang tunanetra yang sangat beruntung bisa menjadi santri di pesantren Nurul Huda ini.
Setelah beberapa minggu Arkhan dan Rio sudah menjadi teman dekat. Teman yang saling menginspirasi satu sama lain. Mengetahui kisah Rio yang merupakan seorang tunanetra yang hafal kitab mulia (alqur’an) mulai membuka hati Arkhan untuk melakukan hal-hal baik dalam hidupnya. Ia memulai dari hal kecil dalam dirinya seperti mematuhi aturan yang biasa ia langgar. Ia mulai mengahafal Al-Quran sesuai aturan di pesantren. Bangun jam tiga lalu tahfidz dan muraja’ah tak ia anggap berat lagi. Ia banyak belajar dari sahabatnya Rio. Perubahan Arkhan ini membuat para ustadz kagum dengannya, khususnya salah seorang ustadz yang selalu membimbing Arkhan dalam menjalani perubahan. Ustadz Ridwan selalu menegrti dengan keadaan Arkhan, ia membantu Arkhan menjalani hidup yang ia hadapi selama beradaptasi.
Kegiatan pesantren tak pernah Arkhan tinggalkan seperti, shalat berjamaah, shalat tahajud, mura’jaah, tahfidz, baitul masail, dan kegiatan pelatihan untuk berceramah yang disebut dengan khitobah dalam pesantren. Dalam baitul masail atau kegiatan berdiskusi tentang persoalan-persoalan sosial dari sudut pandang agama dengan landasan Al-Quran, hadits, dan kitab-kitab terdahulu. Timbul bakat dalam diri seorang Arkhan setelah berbulan bulan belajar di pesantren, yaitu dalam bidang khitobah. Ia mulai memperdalam khitobah dengan bimbingan sang ustadz tercinta yaitu ustadz Ridwan. Dengan berlatih keras Arkhan mengikuti lomba khitobah tingkat MA/Sederajat. Ia gagal, rasa kecewa timbul dalam diri, sampai ia ingin berhenti dari kegiatan positifnya. Namun, Ustadz Ridwan tanpa henti memberi nasihat dan masukan agar Arkhan tetap istiqomah dalam kegiatan yang positif.
Arkhan terlihat merenung di depan asrama dengan menundukkan kepala, layaknya orang yang terpuruk dalam kesedihan. Ustadz Ridwan yang pada saat itu sedang mengecek keadaaan asrama menghampirinya.
“Arkhan”. Panggil Ustadz dengan memegang pundak Arkhan. Arkhan mendongak.
“janganlah terlalu berlarut-larut dalam kesedihan, bangkitlah, Allah tau mana yang terbaik untuk hambanya. Jadi belajarlah lebih giat lagi, akan ada hal yang lebih menunggu di depan” lanjut ustadz menenagkan Arkhan. Arkhan hanya terdiam menghadap bawah. Ustadz Ridwan pergi melanjutkan tugasnya untuk memeriksa asrama lainnya. Arkhan kembali merenung, namun kali ini ia tak merenungkan kekalahannya, ia merenugkan kalimat yang ustadz Ridwan berikan kepadanya.
Beberapa hari kemudian ia mulai bangkit, kalimat ustadz saat itu menjadi rujukan dalam dirinya. “Aku harus bangkit” ujar Arkhan dalam hati untuk menyemangatkan diri. “Ustad ridwan memang benar, jika aku berlarut dalam kesedihan, hal lain tak akan berjalan dengan baik” lanjutnya bergumam. Setelah itu ia memulai kembali rutinitas baik yang ia lakukan di pesantren. Ia rajin berlatih berkhitobah di depan Rio, dengan alasan selain sahabat Rio juga lebih berpengalaman dari Arkhan. Sehingga Arkhan bisa lebih banyak belajar dengan teman sebayanya itu.
Dengan kerja keras Arkhan tak lama kemudian ia dapat memenangkan lomba khitobah tingkat nasional. Berlatih keras yang selam ini ia lakukan tak sia-sia. Naskah khitobah ini dibuat oleh temannya, Rio.  Ia sangat bersyukur memiliki teman sebaik Rio. Ketika menang kalimat pertama yang ia ucapkan adalah “alhamdulillah”, puji syukur kepada Tuhan yang Menguasai Alam. Ini adalah kali pertama Arkhan memenangkan sesuatu yang positif dan membanggakan orang tua, para ustadz, dan orang-orang terdekat lainnya. Sejak itu Arkhan sering mengikuti lomba-lomba dakwah yang tak lepas dari bantuan ustadz Ridwan dan sahabat terbaiknya di pesantren yaitu Rio.
Telah setahun lamanya Arkhan menuntut ilmu di pesantren Nuruh Huda tak terasa ia akan berpisah dengan pesantrennya. Ia mengajukan untuk bisa melanjutkan pendidikannya di Makkah, seperti biasa ia selalu berjalan dengan arahan sang ustadz. Belajar keras untuk bisa melanjutkan pendidikan tanpa biaya dari orang tua. Beberapa bulan kemudian pengumuman keluar, dan nama Arkhan tertera dengan nilai sepuluh terbaik, dan mendapat beasiswa untuk kuliah.
Beberapa minggu dirumah setelah kelulusan, ia berangkat menuju ke Makkah. Tiga tahun kemudian ia dapat memberangkatkan haji kedua orang tuanya. Rasa bangga dalam diri sebagai orang tua tak dapat di ungkapkan dengan kata-kata. Ini adalah hikmah dari merahnya pipi Arkhan saat itu. Percayalah tak ada hal yang Allah ciptakan menjadi sia-sia. Apabila kita selalu bersyukur dan qonaah dalam hal kebaikan, dan selalu yakin dengan kuasa Allah kebahagiaan akan menghampiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar